BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam pandangannya, manusia dianggap sebagai ciptaan Tuhan
yang paling sempurna. Ia punya pola pikir, fisik, dan apapun yang ada pada manusia
dianggap berderajat tinggi. Tapi tak banyak individu yang tau akan hakikat dan
kebenaran manusia pada diri mereka sendiri.
Bagaimana islam mengkaji hal ini? Sementara manusia itu sendiri tidak
sadar bagaimana ia diciptakan, ia ada dan ia dalam perwujudan seperti itu. Al
Quran sebagaimana kalam Allah akan mengkaji dan menafsirkan apa saja yang dapat
membuktikan eksistensi atau hakikat manusia itu sendiri sehingga manusia tidak
salah kaprah mengenali diri sendiri dan mereka tahu dengan pasti alasan mengapa
mereka di ciptakan dengan sedemikian rupa.
Untuk itu, dalam makalah kami ini akan dibahas tentang hakekat manusia
dan kedudukan nafs dalam struktur kehidupan atau kepribadian manusia .
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah hakekat manusia yang
sebenarnya?
2. Bagaimana kedudukan nafs dalam struktur
kepribadian manusia?
C. TUJUAN
1. Mengungkap kebenaran hakekat manusia yang
sebenarnya.
2. Menjelaskan kedudukan nafs dalam struktur
kepribadian manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakekat Manusia
Sebelum kita membahas lebih jauh tentang
hakekat manusia, mari terlebih dulu kita kaji hal-hal dasar yang perlu kita
tahu tentang manusia. Hal-hal tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Definisi Manusia
a. Definisi manusia menurut para psikolog.
Adapun definisi manusia menurut para psikolog adalah
sebagai berikut :[1]
o
Menurut ilmuan fisiologi lebih melihat
manusia dari kumpulan fungsi anggota tubuhnya dan melihat perilakunya sebagai
kumpulan aktivitas fisik dan kimia.
o
Para psikolog klinis lebih melihat manusia
dari kumpulan insting yang membinasakan dan melihat syahwat yang memuaskan
insting tersebut, baik dilakukan dengan cara yang benar maupun menyimpang.
o
Para psikolog perilaku lebih melihat
manusia sebagai suatu alat hidup. Perilaku yang ditampakkannya merupakan hasil
dari pemuasan dorongan syahwat belaka.
o
Para psikolog statistic lebih melihat
manusia sebagai kumpulan angka dan statistic. Perilaku yang ditampakkan
merupakan kumpulan dari angka-angka yang semu dan menyesatkan.
b. Defiisi manusia menurut Islam.
o
Asal manusia
Bagi
yang memahami definisi manusia dari ilmu-ilmu positif (yakni ilmu yang
memalinhkan manusia dari ajaran yang dibawa para nabi), maka hal pertama yang
dilakukan adalah mengamati dirinya dan menuliskan identitas diri akan asal usul
dan tujuan hidupnya.karenanya, hal pertama yang dilakukan adalah menjelaskan
kepada manusia dan mengenal dari mana dia berasal, maka islam berinteraksi
dengan manusia melalui akidah dan syari’ahnya. Sehingga manusia akan lebih mampu mengenali
eksistensinya dibalik semua ilmu dan amal yang dilakukannya.
Dari sini maka kita memahami mengapa kisah
adam banyak diulang dalam ayat-ayat Al Qur’an dalam surah Al Baqarah, kisah
Adam ini diterangkan setelah disebutkan tiga tipe manusia : mukmin (yang
meyakini kebenaran), kafir (yang mengingkari kebenaran) dan munafik ( yang
mengingkari namun seolah meyakininya).[2]
Allah berfirman :
وَ إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّيْ جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ
خَلِيْفَةً قَالُوْا أَتَجْعَلُ فِيْهَا مَن يُفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ
الدِّمَاءَ وَ نَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَ نُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّيْ
أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُوْنَ
Dan
(ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat : Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka : Apakah Engkau
hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan
darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia
berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.(Al
Baqarah: 30 )
Manusia sebagai
ciptaan Tuhan, dengan sendirinya berlaku pula hukum-hukum Tuhan terhadap
kehidupannya. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan manusia itudan menetapkan
peraturan hidupnya, baik kehidupan sendiri maupun hubungannya dengan sesama
manusia dan hubungannya Allah SWT.
Allah berfirman
yang artinya :
“Sesungguhnya,
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (Q.S Tien : 4)
Dalam ayat lain
Allah juga menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia untuk dijadikan khalifah
di bumi dan Allah akan meninggikan derajat mereka.sebagai khalifah bumi,
manusia harus berperan sebagai penata, pengatur, perekayasa, atau pengelola
agar memanfaatkan potensi dan isi alam raya ini dengan cara yang benar dan
sikap yang saleh.[3]
Hal ini disebutkan dalam surah Al An’am ayat 165 yang artinya :
“Dan Dialah
yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi dan Dia meninggikan derajat
sebagian kamu di atas yang lain”. (Q.S An’am : 165)
Dijelaskan pula
bahwa Allah menciptakan manusia dari bumi (tanah) dan menjadikan manusia
sebagai pemakmurnya maksudnya manusia bertanggung jawab atas apapun yang
diciptakan di bumi untuk dijaga dilestarikan sebagaimana mestinya. Hal itu
tertuang dalam firman Allah yang artinya :
“...Dia telah
menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya”. (Q.S Hud :61)
Disisi lain
manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Hal itu tergambar jelas
dalam firman-Nya yang artinya :
“Aku (Tuhan)
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. (Q.S Az Zariyat :56)
Adapun dalam
ayat lain dijelaskan bahwa manusia telah diciptakan dari laki-laki dan
perempuan dan manusia diciptakan dengan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar
kita saling mengenal satu sama lain. Hal itu tertuang dalam salah satu ayat Al
Qur’an yang artnya :
“Hai manusia,
Sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Teliti”. (Q.S Al Hujurat :13)
Menyeru kepada
hal yang baik dan menghindari dari segala hal yang buruk juga menjadi tanggung
jawab manusia sebagai makhluk terbaik di muka bumi. Hal itu pula yang
ditegaskan Allah dalam ayat-ayat ajaibnya yang artinya :
“Dan hendaklah
diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
(berbuat) kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan mereka itulah
orang-orag yang beruntung. (Q.S Ali
Imron :104)
Seperti yang
kita tahu bahwa manusia berperan sebagai objek material dari ilmu dakwah,
masalah efektivitas dakwah banyak tergantung pada bagaimana pesan itu dapat
memenuhi kebutuhan dan kepetingan khalayak, baik yang bersifat pribadi maupun
yang bersifat sosial. Jika hal ini kita kembalikan pada esensinya maka dapat
diterangkan bahwa pemenuhan kebutuhan dan kepentingan tersebut, tidak lain
daripada perwujudan perjuangan manusia untuk hidup yang itu semua merupakan
fitrah atau kodrat manusia itu sendiri.
Adapun manusia
itu selalu punya insting. Insting yang dimaksud disini adalah insting
untukhidup dan untuk mati. Insting untuk hidup adalah insting atau pikiran
dimana manusia memperjuangkan dirinya untuk bertahan hidup. Sedangkan insting
untuk mati adalah insting yang tidak jelas, tetapi merupakan kenyataan pada
suatu saat manusia berkeinginan sadar atau tidak sadar untuk mati.
Berdasarkan
uraian diatas, mari kita simpulkan bahwa tingkah laku manusia dapat
direfleksikan menjadi tiga golongan, yaitu :[4]
1.
Tingkat
kelakuan vital biologis : tidur, makan, olah raga, dan sebagainya.
2.
Tingkat
kelakuan ( niveau ) sosio kultural, belajar, menonton, dan sebagainya.
3.
Tingkat
kelakuan bersifat keagamaan dan metafisis (religius) seperti hubungan manusia
dengan Yang Maha Kuasa, sembahyang, yoga, seedi, dan sebagainya.
Kita dapat menemukan
hahehatnya sebagai berikut :[5]
1.
Eksistensi manusia dimungkinkan keberadaannya
dan bukan wajib ada secara penalaran akal. Kita dapat membayangkan bumi kosong dari
keberadaan manusia. Namun hal ini tidak menjadikannya mustahil secara penalaran
akal. Hal ini tampak dalam firman Allah yang artinya :
“Bukankah telah datang kepada manusia
satu waktu daripada masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang
dapat disebut?”(Al
Insan :1)
Apabila eksistensi manusia dimungkinkan
keberadaanya secara penalaran akal, maka akal dapat menetapkan eksistensinya
dari kenihilannya.
2.
Manusia diciptakan dengan keputusan yang
disosialisasikan oleh Tuhan. Hal ini menghapus anggapan bahwa penciptaan
manusia terjadi secara kebetulan, alami ataupun evolusi. Allah berfirman yang
artinya :
“Sesungguhnya keadaan kekuasaan-Nya apabila Ia menghendaki adanya
sesuatu, hanyalah Ia berfirman kepada (hakikat) benda itu: ” Jadilah engkau! “.
Maka ia terus menjadi.”(Yaasiin
: 82)
3. Disaat keputusan penciptaan manusia disosialisasikan, bentuknya belum
diumumkan. Alllah menciptakannya dengan bentuk yang belum pernah ada
sebelumnya. Allah menciptakannya sedikit demi sedikit dari unsur bumi , hingga
terciptalah manusia dengan semuasel dan fungsinya.
4. Sejak awal penciptaan bumi dijelaskan bahwa bumi merupakan tempat
kediaman dan kesenangan hingga waktu yang telah ditentukan.
5. Keputusan penciptaan manusia disertai dengan keputusan lain, yakni
dengan memutuskan bahwa kelak manusia akan mati.itulah sebab manusia disebut
dengan khalifah. Yakni kehidupan setiap generasi saling berganti.
6. Keputusan Tuhan untuk menciptakan manusia disertai dengan penjelasan
akan visi dan misinya. Manusia adalah khalifah. Tuhan adalah pengendali dan
manusia adalah delegasi-Nya.
7. Semua fase dan kemajuan yang dilewati anak manusia dimulai dengan adanya
kemuliaan baginya dan bagi spesiesnya.
Dengan masuknya Adam untuk pertama kalinya ke syurga, maka semua itu
seolah menunjukkan kahikat deskriptif Islam akan posisi manusia. Setiap anak manusia
yang lahir memiliki hak untuk bisa tinggal di syurga layaknya Adam. Manusia
diciptakan dalam keadaan suci dan baik hingga memungkinkan baginya untuk masuk
syurga.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (tidak memiliki aib kecuali
diciptakan oleh manusia itu sendiri. Manusia diciptakan dari ruh dan
tanah.setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan bertauhid, berkonsep dengan
pola piker dasar, dan berakhlak secara umumnya.
Masuknya Adam dalam syurga tanpa melakuka suatu amal pekerjaal
mengandung arti bahwa semua anak manusia bisa masuk surge selama tidak
terhalang dengan suatu hal yang menahannya.
Ketika manusia melakukan kekhilafan, ia tetap bisa memiliki haknya
selama ia mau bertaubat kepada Allah.[6]
Allah menciptakan manusia dengan
karakteristik alaminya. Inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lain di
muka bumi. Manusia tercipta dari tanah yang mendapat tiupan ruh dari Allah.[7]
Allah berfirman yang artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu
berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".(Shaad :71-71)
Baharuddin menjelaskan konsep manusia
secara mendalam dan luas. Ia menjabarkan kata al fitrah sebagai identitas
esensial psikis manusia. Esensi adalah suatu yang ada, berada atau kekal.
Manusia tetap menjadi manusia. Walaupun ia hebat dalam memimpin kaumnya namun
ia tidak bisa menjadi Tuhan. Ia berperilaku sangat baik sekali namun ia tidak
dapat menjadi malaikat.[8]
Aspek-aspek dan dimensi yang ada pada bingkai fitrah manusia yang
perlu dipelihara, antara lain :
1.
Aspek
jismiyah (manusia sebagai makhluk basyariyah. Aspek jismiyah adalah organ fisik
dan biologis manusia dengan segala perangkatnya. Aspek ini menyangkut dimensi
al jism. Dimensi ini menyangkut sistem syaraf, kelenjar, sel dan seluruh organ
dalam dan organ luar.[9]
2.
Aspek
nafsiyah (manusia sebagai makhluk insaniyah) yaitu seluruh kualitas khas
kemanusiaan, berupa pikiran, perasaan, kemauan / naluri dan kebebasan.aspek
nafsiyah berada dalam aspek jismiah dan ruhaniyah. Sebab aspek jismiah akan
hilang daya hidupnya jika tidak ada aspek ruhaniyah. Aspek ruhaniyah tanpa
tewujud secara konkret tanpa aspek jismiah.[10]
3.
Aspek
ruhaniyah yaitu aspek psikis manusia yang bersifat spiritualdan transendental.[11]
B.
Kedudukan Nafs dalam Struktur Kehidupan Manusia
1.
Makna
nafs
Kata nafs
merupakan satu kata yang memiliki banyak makna dan harus dipahami sesuai dengan
penggunaannya. Kata nafs dalm Al Qur’an memiliki makna sebagai berikut :
a.
Jiwa
atau sesuatu yang memiliki eksistensi dan hakikat. Nafs dalam artian ini
terdiri atas tubuh dan ruh.
b.
Nyawa
yang memicu adanya kehidupan. Apabila nyawa hilang, maka kematian pun
menghampiri.
c.
Diri
atau suatu tempat dimana hati nurani bersemayam. Nafs dalam artian ini selalu
dinisbatkan kepada Allah dan kepada manusia.
d.
Suatu
sifat pada diri manusia yang memiliki kecenderungan kepada kebaikan dan juga
kejahatan.
e.
Sifat
pada diri manusia yang berupa perasaan dan indra yang ditinggalkan ketika ia
tertidur.
f.
Satu
gaya bahasa yang majemuk yang berarti ‘saling’.
g.
Suatu
kata yang berlaku untuk lelaki, wanita, dan juga kaum (kabilah).
h.
Seseorang
tertentu ( Adam AS).
Semua makna inilah yang tersirat
dalam Al Qur’an. Namun apabila kita mengamati dan menganalisis lebih jauh, maka
sesungguhnya makna tersebut dapat disimpulkan menjadi dua makna utama :
1.
Satu
kata umum mencakup semua yang ada dalam diri manusia. Kebalikan dari kata ini
dalam Al Qur’an adalah semesta.
2.
Satu
kata khusus yang berarti jiwa dan ruh. Kebalikan dari kata ini adalah tanah
atau fisik.
Ada yang memandang dan memaknai nafs
yang mengandung pengertian nafas atau nyawa. Nafs berdimensi luas yang
mendakwahi aql (akal), qalb (kalbu), ruh dan al fitrah (fitrah) dan potensi
takwa (positif, baik) dan potensi fujur ( buruk, negatif). Berbagai keprbadian manusia
atas nafsunya diantaranya :
a.
Manusia
mengumbar nafsu rendah
Dorongan nafsu rendah
seseorang menunjukkan kemampuannya dalam
managemen akal, kalbu dan nurani dirinya yang sudah ada tanda-tanda belum
berfungsinya jism (jasmani), akal, kalbu, ruh, nafs muthmainah, dan keinginan
positif.
b.
Hawa nafsu sebagai tuhanmu
Pandangan islam mengakui adanya
manusia yang demikian dan dikelompokan pada kepribadian manusia yang memiliki
nafsu hayawaniyah, syaitaniyah dan nafsu amarrah. Nafsu tersebut melekat pada
tubuh manusia yang menjadikan syahwatnya sebagai Tuhan.
Manusia masih dalam fitrahnya, seorang bakal manusia ( nutfah dalam
kandungan ibunya) berdialog dengan Allah dalam rangka pengakuan akan keesaan
Allah. Proses emanasi dalam dialog non verbal, proses penciptaan di mana al
fitrah berasal dari Allah mengalir kepada nafs manusia, pengakuan atas keesaan
Allah.
Kotak nafs yang menampung dimensi jasmani, nafsu, akal, kalbu dan
ruh. Pada sisi ini al fitrah adalah sebagai binmensi-dimensi lainnya. Dimensi fitrah melingkari kotak dimensi akal, ruh nafs, dan kalbu.
Manusia melatih dan menhamati pergeseran dimensi fitrah.
BAB III
PENUTUPAN
A.
KESIMPULAN
1. Menurut ilmuan fisiologi lebih melihat manusia dari kumpulan fungsi
anggota tubuhnya dan melihat perilakunya sebagai kumpulan aktivitas fisik dan
kimia.
2. Manusia sebagai ciptaan Tuhan, dengan sendirinya berlaku pula
hukum-hukum Tuhan terhadap kehidupannya.
3.
Tingkah
laku manusia dapat direfleksikan menjadi tiga golongan, yaitu Tingkat kelakuan
vital biologis, Tingkat kelakuan ( niveau ) Tingkat kelakuan bersifat keagamaan
dan metafisis (religius)
4.
Aspek-aspek
dan dimensi yang ada pada bingkai fitrah manusia yang perlu dipelihara : aspek
jismiyah, aspek nafsiyah, aspek ruhaniyah
5.
Ada
yang memandang dan memaknai nafs yang mengandung pengertian nafas atau nyawa.
6. Berbagai kepribadian manusia
atas nafsunya diantaranya : Manusia
mengumbar nafsu rendah dan hawa nafsu sebagai tuhanmu.
B.
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini penulis pasti banyak melakukan
kesalahan baik dalam sistematika, penulisan maupun isi dari makalah. Untuk itu,
kami mohon kritik dan saran yang menbangun demi perbaikan pada karya ilmiah
maupun tugas yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agama, Departemen RI. Al Qur’an dan Terjemahannya. Surabaya. Mega
Jaya Abadi.
Arbi, Armawati. 2012. Psikologi
dan Tabligh. Jakarta: AMZAH.
Arifin, Anwar. 2011. Dakwah Kontemporer Sebuah
Studi Komunikasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Izzuddin Taufiq, Muhammad. 2006. Panduan
Lengkap dan Praktis Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani.
Muhiddin, Asep. 2002. Dakwah dalam
Perspektif Al Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
[1]Muhammad Izzudin Taufiq, Panduan
Lengkap dan Praktis Psikologi Islam, Depok, 2006, hlm. 151
[2]Ibid, hlm. 166-167.
[3] Asep
Muhiddin. Dakwah dalam Perspektif Al Qur’an. Bandung. Pustaka Setia. 2002. hlm.
11
[4] Prof.
Dr. Anwar Arifin. Dakwah Kontemporer Sebuah Studi Komunikasi. Yogyakarta. Graha
Ilmu. 2011. hlm. 175
[5] Muhammad
Izzuddin Taufiq. Panduan Lengkap & Praktis Psikologi Islam. Jakarta. Gema
Insani. 2006. hlm. 169-171
[6] Ibid
hlm. 180
[7] Ibid
hlm. 183
[9] Ibid.
hlm.28
[10] Ibid.
hlm. 31
[11] Ibid.
hlm. 38
Tidak ada komentar
Posting Komentar